|
Analisa Binis Cokelat Monggo
Mata Kuliah : Business &
Management
|
I.
Latar
Belakang Cokelat Monggo
Berbicara
tentang Yogyakarta tidak lepas dari beberapa makanan dan oleh-oleh khasnya,
seperti gudek dan bakpia. Selain 2 jenis makan tersebut yang sudah lama dikenal
masyarakat luas, kini Yogyakarta memiliki oleh-oleh khas baru, yaitu Cokelat Monggo. Cokelat Monggo adalah perusahaan cokelat pertama di Yogyakarta yang
telah didirikan sejak tahun 2005.
Awal
mula berdirinya Cokelat Monggo adalah
ketika pada tahun 2001 seorang pria berkebangsaan Belgia, Thierry Detournay,
datang ke Indonesia khusunya Yogyakarta untuk mengajar bahasa Prancil di
Universitas Gajah Mada. Selama tinggal di Yogyakarta dia merasa kecewa karena
kurangnya cokelat berkualitas di toko-toko padahal Indonesia adalah penghasil
kakao terbesar ke-3 di dunia, kemudian dia mencoba untuk membuat cokelat yang
berkualitas dengan sumber daya dan modal yang terbatas.[1] Dengan modal yang
dimilikinya, dia mempunyai ide untuk membuka sebuah toko namun mengalami
kegagalan. Tidak lama kemudian dia bertemu Edward Riyanto dan mereka sepakat
untuk memproduksi cokelat bersama dan akhirnya mendirikan CV. Anugerah Mulia.
Cokelat pertama hasil produksi perusahaan tersebut adalah parline bermerek “Cacaomania”.
Karena mereka menganggap nama tersebut terlalu umum akhirnya mereka
menggantikan dengan nama yang mudah diingat, unik dan menggambarkan budaya
Yogyakarta, yaitu cokelat “Monggo”.
II.
Bisnis
Cokelat Manggo
Dengan
keinginan awal Thierry untuk dapat menciptakan cokelat yang berkualitas,
akhirnya dia berhasil menghadirkan Cokelat
Monggo yang berkualitas internasional dan membawa nilai budaya Yogyakarta
yang diproduksi secara homemade. Dalam usahanya, Thierry juga memberdayakan
warga sekitar Kota Gede Yogyakarta, khususnya para ibu-ibu.
Sebelum
sebuah perusahaan memulai proses produksi, hal pertama yang penting untuk
dilakukan adalah menentukan metode yang tepat untuk mentransformasi atau
mengolah bahan baku menjadi sebuah prodaUntuk menciptakan Cokelat Monggo berkualitas internasonal maka harus melalui beberapa
proses yang telah distandarisasi. Berikut
adalah proses produsi Cokelat Monggo:
1. Pohon dan Biji Kakao
Pada
awalnya orang-orang Belanda membangun sebuah fasititas perkebunan kakao yang
hingga saat ini menjadi sebuah produksi yang besar. Buah kakau dapat dipeting
sepanjang tahun, namun ada musin tertentu yang akan menghasilkan panen
terbesar. Pemetikan harus dilakukan dengan hati-hati karena pohonnya tidak terlalu kuat dan akarnya
lunak. Setelah pemetikan, buah kakao dikumpulkan dan kemudian dilakukan
pengupasan untuk mengumpulkan biji kakau.
2. Fermentasi dan Pengeringan
Proses
fermentasi dilakukan dengan cara meletakkan biji kakao dalam keranjang yang dan
ditutup daun pisang. Proses tersebut dilakukan untuk menghilangkan rasa pahit
dan memperkuat rasa cokelat dari biji kakao. Setelah proses fermentasi,
selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menjemur biji kakao di luar ruangan.
Berat standar satu buah kakao yang telah dijemur adalah 55 g.
3. Pemanggangan dan Penggilingan
Biji
kakao kering yang berkualitas selanjutnya diolah. Proses pengolahan dimulai
dengan memasukkan biji kakao kedalam mesin pembersih guna membersihkan dan
memisahkan kulit dari daging biji. Selanjutnya biji kakao dikeringkan dengan
mesin selama 30 menit sampai 2 jam. Kemudian biji dikeringkan dan dibersihkan
dari sisa kulit luarnya.
4. Cokelat yang dapat dimakan
Untuk
pembuatan bubuk cokelat, lemak nabati atau mentega kakao akan dihilangkan.
Sedangkan untuk membuat cokelat yang dapat dimakan lemak nabati justru akan
ditambahkan dengan kadar minimal 25% untuk menghasilkan kualitas tinggi. Proses
selanjutnya adalah mencampur kakao massa, mentega kakao, gula, dan perasa
sehingga menghasilkan pasta cokelat yang halus. Setelah penghalusan, cokelat
dipanaskan, didingingkan, dan dipanaskan kembali (tempering process) sesuai dengan pengaturan suhu. Selanjutnya
cokelat dimasukkan kedalam cetakan dan dimasukkan kedalam mesin pendingin. Dan
akhirnya cokelat dilepaskan dari cetakan, dikemas lalu dipasarkan kepada
konsumen.
Pada
hakikatnya inti dari manajemen operasi adalah proses transformasi dimana sebuah
input (sumber daya seperti karyawan, material, uang, dan energi) diubah menjadi
output (barang, jasa, dan ide).[2] Dalam hal ini Cokelat Monggo memulai proses
produksinya dari tahap awal penanaman pohon kakao, kemudian proses pemanenan,
selanjutnya proses transformasi yaitu mengolah biji kakao, dan akhirnya jadilah
output berupa Cokelat Monggo yang
berkualitas.
Strategi
pemasaran Cokelat Monggo dapat
dikatakan berbeda dengan cokelat yang lain. Meskipun dia tidak pernah beriklan
terkait produknya, Cokelat Monggo
bisa mempunyai hasil penjual yang bagus. Hal tersebut didukung oleh beberapa
hal, pertama, Cokelat Monggo memiliki
jangkauan penjualan yang luas bahkan hingga pasar moderen. Kedua, harga
produknya tergolong premium. Ketiga, kegiatan promosi lebih banyak melalui
pameran dan program bagi-bagi sampel cokelat gratis di gerai-gerai tertentu.
Keempat, perusahaan memanfaatkan event
seperti Lebaran, Natal, Halloween, dan Valentine dengan membuat produk khusus.
Kelima, perusahaan menggunakan media online
untuk memperkenalkan produknya di website miliknya. Dan yang terakhir, proses
produksi berlangsung terbuka sehingga konsumen dapat melihat dan proses yang
digunakan masih tergolong manual.
Menurut
Farrell, strategi promosi dalam bauran promosi ada 4 cara, yaitu advertising, publicity, personal selling,
dan sales promotion. Iklan adalah
bentuk komunikasi non personal berbayar melalui media masa seperti iklan
ditelevisi, majalah atau iklan online yang bertujuan untuk merangsang pembeli.
Berbeda dengan iklan, pubicity adalah bentuk komunikasi nonpersonal melalui
media masa namun tidak secara langsung dibayarkan oleh perusahaan. Hal tersebut
biasanya berupa cerita dari sebuah produk atau perusahaan yang terdapat di
majalah atau koran. Personal selling adalah bentuk promosi yang dilakukan melalui
komunikasi dua arah antara penjual dan calon pembeli. Sales promotion
melibatkan bujukan langsung yang menawarkan nilai tambah atau insentif lain
seperti memberikan sampel kepada pembeli sehingga dapat tertarik untuk membeli
produk tersebut.[3]
Dalam
hal ini Cokelat Monggo menggunakan
strategi promosi sales promotion. Dia mengikuti pameran-pameran dan program
bagi-bagi sampel graris di gerai-gerai tertentu. Dengan cara demikian selain
dapat megenalakan produknya, Cokelat
Monggo juga dapat menjelaskan nilai-nilai produknya. Strategi tersebut
sangat efektif untuk menjangkau pasar premium. Hal tersebut telah dibuktikannya
dengan hasil penjualan yang meningkat dan telah dimilikinya 3 gerai untuk premium class di The Foodhall Plaza
Senayan, The Foodhall Senayan City dan Grand Indonesia.
Tujuan
Cokelat Monggo tidak semata-mata
dapat menghasilkan profit yang tinggi. Tujuan awal berdirinya Cokelat Monggo adalah untuk dapat
memproduksi cokelat berkualitas dan bertanggung jawab terhadap dampak-dampak
yang akan timbul untuk masyarakat dan lingkungan sekitar. Karena Indonesia
menyediakan sumber daya cokelat maka dia bertekat untuk menjaga lingkungan.
Beberapa cara yang perusahaan adalah pertama penggunaan air. Dalam memproduksi
cokelat, perusahaan menggunakan air dengan seefisien mungkin. Selain itu
sebagai industri rumahan, Cokelat Monggo
juga melakukan penghematan energi dengan tidak terlalu banyak menggunakan mesin
dan juga menyediakan lapangan pekerjaan. Karena lingkungan produksi terisolasi
dengan baik sehingga dapat mengurangi penggunaan AC. Hal lain yang dilakukan
adalah dengan mengururangi penggunaan plastik dalam pengemasannya dan yang
digunakan adalah plastik yang dapat didaur ulang. Perusahaan juga berencana
melakukan penanaman lebih banyak lagi pohon kakao. Dan masih banyak lagi yang
dilakukan perusahaan dalam menjaga lingkungan.
III.
Analisa
Bisnis Cokelat Monggo
Sejak
awal berdirinya pada tahun 2005, saat ini Cokelat
Monggo telah berekspansi dengan memiliki hampir 150 karyawan di kantor
pusat Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya.[4] Saat ini Cokelat Monggo pun telah dijual di 4
kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Bali, Jakarta, dan Surabaya. Thierry
dan manajemennya masih masih ingin memperluas jaringan bisnisnya di
Indonesia dan juga memperkenalkan
cokelat khas Indonesia ke luar negeri.
Mekipun
telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, Thierry khawatir akan bisnis
yang dijalaninya. Hal tersebut dikarenakan dia menghadapi para pesaing yang
sudah memiliki nama besar, seperti Silver Queen, DairyMilk, dan lain-lain.
Dengan munculnya banyak pesaing baik dari produk cokelat lokal Yogya maupun
cokelat asing yang sudah banyak tersedia di berbagai supermarket, Thierry pun
ragu dengan sendirinya akan strategi dan model bisnis Cokelat Monggo miliknya.
Strategi
dan model bisnis yang dimiliki oleh Cokelat
Monggo sudah bagus. Mereka tidak perlu mengubahnya hanya mungkin ada
beberapa hal yang perlu diperbaiki dan ditambahkan agar produk cokelatnya tetap
sustainable di pasarnya dan dapat
meraih pangsa pasar lebih luas. Cokelat
Monggo adalah bisnis yang tidak hanya mencari profit untuk perusahaannya,
namun Thierry mengedepankan “berintegrsi dan berinteraksi” dengan masyarakat.
Alternatif
yang dapat dilakukan perusahaan adalah bekerjasama
dengan petani kakao dan memastikan bahwa hasil buah kakao adalah buah organik.
Kemudian perusahaan bisa memproses pembuatan setifikat organik untuk bahan baku
yang digunakannya. Strategi lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti
pameran-pameran besar bahkan yang ada di luar negeri agar Cokelat Monggo dikenal di pasar internasional. Kemasan dari Cokelat Monggo sudah cukup baik untuk
memperkenalkan nilai-nilai daerah ke masyarakat luas. Desain yang digunakan
sesuai dengan lokasinya, jika di Bali maka mereka tidak lagi menggunakan gambar
wayang atau ciri Yogya, mereka menggunakan desaian yang disesuaikan dengan kebudayaan
Bali. kesuksesan sebuah perusahaan makanan organik juga salah satunya karena
kemasan produknya. Javara mencantunkan proses pembuatan produknya yang sehat.[5] Selain desain budaya pada
kemasannya, akan lebih baik lagi jika Cokelat
Monggo mencantumkan proses produksinya yang bersih dan sehat, meskipun masyarakat
sudah dapat melihat langsung prosesnya.
Permasalahan
yang dihadapai Cokelat Monggo seperti
yang telah diutarakan oleh Thierry bahwa ada kekhawatiran terhadap produknya
karena banyak muncul pesaing cokelat lokal baru dan cokelat luar yang telah banyak
dijual di swalayan. Theirry dan Edward bertanggung jawab penuh atas
strategi-strategi yang akan mereka jalankan untuk memperluas bisnis Cokelat Monggo dan menghadapi persaingan
pasar. Cokelat Monggo akan tetap
bertahan di pasarnya dan bahkan dapat lebih luas lagi jika mereka tetap menjaga
kualitas, tetap menanamkan nilai disetiap produknya, serta mengikuti
pameran-pameran besar.
Beberapa
alternatif di atas sangat mungkin untuk dilakukan oleh Cokelat Monggo. Meskipun biaya yang akan dikeluarkan besar, namun hal
tersebut tidak akan membuat kerugian. Hal tersebut telah dibuktikan oleh sebuah
perusahaan makanan organik, Javara. Javara melakukan kerjasama dengan para
petani agar dapat menjaga kualitas dan stok bahan baku, serta dapat memberikan keuntungan bagi para
petani.[6]
Referensi:
[2] Ferrell, O.C.,
Hirt, G. A., and Ferrell, L. (2018). Business
Foundations: A Changing World. 11th Edition, McGraw-Hill, New York. (FHF), hal. 235
[3] Ibid., hal 382