Friday, January 12, 2018

Analisa Bisnis Cokelat Monggo




Analisa Binis Cokelat Monggo


Mata Kuliah : Business & Management 








I.                   Latar Belakang Cokelat Monggo

Berbicara tentang Yogyakarta tidak lepas dari beberapa makanan dan oleh-oleh khasnya, seperti gudek dan bakpia. Selain 2 jenis makan tersebut yang sudah lama dikenal masyarakat luas, kini Yogyakarta memiliki oleh-oleh khas baru, yaitu Cokelat Monggo. Cokelat Monggo adalah perusahaan cokelat pertama di Yogyakarta yang telah didirikan sejak tahun 2005.
Awal mula berdirinya Cokelat Monggo adalah ketika pada tahun 2001 seorang pria berkebangsaan Belgia, Thierry Detournay, datang ke Indonesia khusunya Yogyakarta untuk mengajar bahasa Prancil di Universitas Gajah Mada. Selama tinggal di Yogyakarta dia merasa kecewa karena kurangnya cokelat berkualitas di toko-toko padahal Indonesia adalah penghasil kakao terbesar ke-3 di dunia, kemudian dia mencoba untuk membuat cokelat yang berkualitas dengan sumber daya dan modal yang terbatas.[1] Dengan modal yang dimilikinya, dia mempunyai ide untuk membuka sebuah toko namun mengalami kegagalan. Tidak lama kemudian dia bertemu Edward Riyanto dan mereka sepakat untuk memproduksi cokelat bersama dan akhirnya mendirikan CV. Anugerah Mulia. Cokelat pertama hasil produksi perusahaan tersebut adalah parline bermerek “Cacaomania”. Karena mereka menganggap nama tersebut terlalu umum akhirnya mereka menggantikan dengan nama yang mudah diingat, unik dan menggambarkan budaya Yogyakarta, yaitu cokelat “Monggo”.

II.                Bisnis Cokelat Manggo
Dengan keinginan awal Thierry untuk dapat menciptakan cokelat yang berkualitas, akhirnya dia berhasil menghadirkan Cokelat Monggo yang berkualitas internasional dan membawa nilai budaya Yogyakarta yang diproduksi secara homemade.  Dalam usahanya, Thierry juga memberdayakan warga sekitar Kota Gede Yogyakarta, khususnya para ibu-ibu.
Sebelum sebuah perusahaan memulai proses produksi, hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah menentukan metode yang tepat untuk mentransformasi atau mengolah bahan baku menjadi sebuah prodaUntuk menciptakan Cokelat Monggo berkualitas internasonal maka harus melalui beberapa proses yang telah distandarisasi.  Berikut adalah proses produsi Cokelat Monggo:
1.         Pohon dan Biji Kakao
Pada awalnya orang-orang Belanda membangun sebuah fasititas perkebunan kakao yang hingga saat ini menjadi sebuah produksi yang besar. Buah kakau dapat dipeting sepanjang tahun, namun ada musin tertentu yang akan menghasilkan panen terbesar. Pemetikan harus dilakukan dengan hati-hati karena  pohonnya tidak terlalu kuat dan akarnya lunak. Setelah pemetikan, buah kakao dikumpulkan dan kemudian dilakukan pengupasan untuk mengumpulkan biji kakau.
2.         Fermentasi dan Pengeringan
Proses fermentasi dilakukan dengan cara meletakkan biji kakao dalam keranjang yang dan ditutup daun pisang. Proses tersebut dilakukan untuk menghilangkan rasa pahit dan memperkuat rasa cokelat dari biji kakao. Setelah proses fermentasi, selanjutnya dilakukan pengeringan dengan menjemur biji kakao di luar ruangan. Berat standar satu buah kakao yang telah dijemur adalah 55 g.
3.         Pemanggangan dan Penggilingan
Biji kakao kering yang berkualitas selanjutnya diolah. Proses pengolahan dimulai dengan memasukkan biji kakao kedalam mesin pembersih guna membersihkan dan memisahkan kulit dari daging biji. Selanjutnya biji kakao dikeringkan dengan mesin selama 30 menit sampai 2 jam. Kemudian biji dikeringkan dan dibersihkan dari sisa kulit luarnya.
4.         Cokelat yang dapat dimakan
Untuk pembuatan bubuk cokelat, lemak nabati atau mentega kakao akan dihilangkan. Sedangkan untuk membuat cokelat yang dapat dimakan lemak nabati justru akan ditambahkan dengan kadar minimal 25% untuk menghasilkan kualitas tinggi. Proses selanjutnya adalah mencampur kakao massa, mentega kakao, gula, dan perasa sehingga menghasilkan pasta cokelat yang halus. Setelah penghalusan, cokelat dipanaskan, didingingkan, dan dipanaskan kembali (tempering process) sesuai dengan pengaturan suhu. Selanjutnya cokelat dimasukkan kedalam cetakan dan dimasukkan kedalam mesin pendingin. Dan akhirnya cokelat dilepaskan dari cetakan, dikemas lalu dipasarkan kepada konsumen.
Pada hakikatnya inti dari manajemen operasi adalah proses transformasi dimana sebuah input (sumber daya seperti karyawan, material, uang, dan energi) diubah menjadi output (barang, jasa, dan ide).[2] Dalam hal ini Cokelat Monggo memulai proses produksinya dari tahap awal penanaman pohon kakao, kemudian proses pemanenan, selanjutnya proses transformasi yaitu mengolah biji kakao, dan akhirnya jadilah output berupa Cokelat Monggo yang berkualitas.
Strategi pemasaran Cokelat Monggo dapat dikatakan berbeda dengan cokelat yang lain. Meskipun dia tidak pernah beriklan terkait produknya, Cokelat Monggo bisa mempunyai hasil penjual yang bagus. Hal tersebut didukung oleh beberapa hal, pertama, Cokelat Monggo memiliki jangkauan penjualan yang luas bahkan hingga pasar moderen. Kedua, harga produknya tergolong premium. Ketiga, kegiatan promosi lebih banyak melalui pameran dan program bagi-bagi sampel cokelat gratis di gerai-gerai tertentu. Keempat, perusahaan memanfaatkan event seperti Lebaran, Natal, Halloween, dan Valentine dengan membuat produk khusus. Kelima, perusahaan menggunakan media online untuk memperkenalkan produknya di website miliknya. Dan yang terakhir, proses produksi berlangsung terbuka sehingga konsumen dapat melihat dan proses yang digunakan masih tergolong manual.
Menurut Farrell, strategi promosi dalam bauran promosi ada 4 cara, yaitu advertising, publicity, personal selling, dan sales promotion. Iklan adalah bentuk komunikasi non personal berbayar melalui media masa seperti iklan ditelevisi, majalah atau iklan online yang bertujuan untuk merangsang pembeli. Berbeda dengan iklan, pubicity  adalah bentuk komunikasi nonpersonal melalui media masa namun tidak secara langsung dibayarkan oleh perusahaan. Hal tersebut biasanya berupa cerita dari sebuah produk atau perusahaan yang terdapat di majalah atau koran. Personal selling adalah bentuk promosi yang dilakukan melalui komunikasi dua arah antara penjual dan calon pembeli. Sales promotion melibatkan bujukan langsung yang menawarkan nilai tambah atau insentif lain seperti memberikan sampel kepada pembeli sehingga dapat tertarik untuk membeli produk tersebut.[3]
Dalam hal ini Cokelat Monggo menggunakan strategi promosi sales promotion. Dia mengikuti pameran-pameran dan program bagi-bagi sampel graris di gerai-gerai tertentu. Dengan cara demikian selain dapat megenalakan produknya, Cokelat Monggo juga dapat menjelaskan nilai-nilai produknya. Strategi tersebut sangat efektif untuk menjangkau pasar premium. Hal tersebut telah dibuktikannya dengan hasil penjualan yang meningkat dan telah dimilikinya 3 gerai untuk premium class di The Foodhall Plaza Senayan, The Foodhall Senayan City dan Grand Indonesia.
Tujuan Cokelat Monggo tidak semata-mata dapat menghasilkan profit yang tinggi. Tujuan awal berdirinya Cokelat Monggo adalah untuk dapat memproduksi cokelat berkualitas dan bertanggung jawab terhadap dampak-dampak yang akan timbul untuk masyarakat dan lingkungan sekitar. Karena Indonesia menyediakan sumber daya cokelat maka dia bertekat untuk menjaga lingkungan. Beberapa cara yang perusahaan adalah pertama penggunaan air. Dalam memproduksi cokelat, perusahaan menggunakan air dengan seefisien mungkin. Selain itu sebagai industri rumahan, Cokelat Monggo juga melakukan penghematan energi dengan tidak terlalu banyak menggunakan mesin dan juga menyediakan lapangan pekerjaan. Karena lingkungan produksi terisolasi dengan baik sehingga dapat mengurangi penggunaan AC. Hal lain yang dilakukan adalah dengan mengururangi penggunaan plastik dalam pengemasannya dan yang digunakan adalah plastik yang dapat didaur ulang. Perusahaan juga berencana melakukan penanaman lebih banyak lagi pohon kakao. Dan masih banyak lagi yang dilakukan perusahaan dalam menjaga lingkungan.

III.             Analisa Bisnis Cokelat Monggo

Sejak awal berdirinya pada tahun 2005, saat ini Cokelat Monggo telah berekspansi dengan memiliki hampir 150 karyawan di kantor pusat Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya.[4] Saat ini Cokelat Monggo pun telah dijual di 4 kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Bali, Jakarta, dan Surabaya. Thierry dan manajemennya masih masih ingin memperluas jaringan bisnisnya di Indonesia  dan juga memperkenalkan cokelat khas Indonesia ke luar negeri.
Mekipun telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, Thierry khawatir akan bisnis yang dijalaninya. Hal tersebut dikarenakan dia menghadapi para pesaing yang sudah memiliki nama besar, seperti Silver Queen, DairyMilk, dan lain-lain. Dengan munculnya banyak pesaing baik dari produk cokelat lokal Yogya maupun cokelat asing yang sudah banyak tersedia di berbagai supermarket, Thierry pun ragu dengan sendirinya akan strategi dan model bisnis Cokelat Monggo miliknya.
Strategi dan model bisnis yang dimiliki oleh Cokelat Monggo sudah bagus. Mereka tidak perlu mengubahnya hanya mungkin ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan ditambahkan agar produk cokelatnya tetap sustainable di pasarnya dan dapat meraih pangsa pasar lebih luas. Cokelat Monggo adalah bisnis yang tidak hanya mencari profit untuk perusahaannya, namun Thierry mengedepankan “berintegrsi dan berinteraksi” dengan masyarakat.
Alternatif yang dapat dilakukan perusahaan adalah  bekerjasama dengan petani kakao dan memastikan bahwa hasil buah kakao adalah buah organik. Kemudian perusahaan bisa memproses pembuatan setifikat organik untuk bahan baku yang digunakannya. Strategi lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti pameran-pameran besar bahkan yang ada di luar negeri agar Cokelat Monggo dikenal di pasar internasional. Kemasan dari Cokelat Monggo sudah cukup baik untuk memperkenalkan nilai-nilai daerah ke masyarakat luas. Desain yang digunakan sesuai dengan lokasinya, jika di Bali maka mereka tidak lagi menggunakan gambar wayang atau ciri Yogya, mereka menggunakan desaian yang disesuaikan dengan kebudayaan Bali. kesuksesan sebuah perusahaan makanan organik juga salah satunya karena kemasan produknya. Javara mencantunkan proses pembuatan produknya yang sehat.[5] Selain desain budaya pada kemasannya, akan lebih baik lagi jika Cokelat Monggo mencantumkan proses produksinya yang bersih dan sehat, meskipun masyarakat sudah dapat melihat langsung prosesnya.
Permasalahan yang dihadapai Cokelat Monggo seperti yang telah diutarakan oleh Thierry bahwa ada kekhawatiran terhadap produknya karena banyak muncul pesaing cokelat lokal baru dan cokelat luar yang telah banyak dijual di swalayan. Theirry dan Edward bertanggung jawab penuh atas strategi-strategi yang akan mereka jalankan untuk memperluas bisnis Cokelat Monggo dan menghadapi persaingan pasar. Cokelat Monggo akan tetap bertahan di pasarnya dan bahkan dapat lebih luas lagi jika mereka tetap menjaga kualitas, tetap menanamkan nilai disetiap produknya, serta mengikuti pameran-pameran besar.
Beberapa alternatif di atas sangat mungkin untuk dilakukan oleh Cokelat Monggo. Meskipun biaya yang akan dikeluarkan besar, namun hal tersebut tidak akan membuat kerugian. Hal tersebut telah dibuktikan oleh sebuah perusahaan makanan organik, Javara. Javara melakukan kerjasama dengan para petani agar dapat menjaga kualitas dan stok bahan baku,  serta dapat memberikan keuntungan bagi para petani.[6]






Referensi:


[2] Ferrell, O.C., Hirt, G. A., and Ferrell, L. (2018). Business Foundations: A Changing World. 11th Edition, McGraw-Hill, New York. (FHF), hal. 235
[3] Ibid., hal 382
[6] https://klasika.kompas.id/strategi-tembus-pasar-internasional-versi-pendiri-javara